Selasa, 23 Maret 2010

Target Pembangunan di Indonesia

Kebijakan pembangunan Indonesia selama ini dinilai senantiasa diarahkan pada target pertumbuhan (target growth oriented). Padahal fenomena yang terjadi di Indonesia kurang menunjukkan iklim yang positif, sehingga sentuhan pembangunan ekonomi di level grass root seringkali terabaikan dan cenderung gagal serta tidak menyentuh permasalahan mendasar masyarakat Indonesia. Platform pembangunan semacam ini pada pasca Pemilu 2004 ke depan sudah seharusnya digeser, sehingga target pembangunan Indonesia bukanlah sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi belaka. Oleh karena itu, setting ekonomi yang dibangun seyogianya berpijak pada kebutuhan riil masyarakat dan berorientasi pada keberadaan sumberdaya yang selama ini dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan masyarakat Indonesia, seperti sumberdaya kelautan, pertanian dan perkebunan, serta kehutanan.

Indonesia terletak di daerah ekuator dengan luas daratan mencapai 2 juta kilometer persegi dan daerah perairan seluas 6 juta kilometer persegi yang memanjang sejauh lebih kurang 6.000 kilometer dari Benua Asia hingga relung Pasifik (panjang pantainya mencapai 81.000 km) dan merupakan negara kepulauan terbesar (lebih dari 17.500 pulau) serta dengan penduduk yang terpadat dan memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia. Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi itu, Indonesia dikenal sebagai daerah “mega biodiversity” yang mana banyak spesies di dalamnya endemik. Penduduk Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 200 juta, di mana 60 persen di antaranya hidup di wilayah pesisir serta memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya sebagai sumber penghidupannya, maka sudah sepantasnya jika kebijakan pembangunan ekonomi seoptimal mungkin dibangun dan diarahkan pada pembangunan ekonomi yang berorientasi pada sumberdaya alam dan lahan tersebut.

Pemilu 2004 merupakan momen kedua yang cukup signifikan untuk memperkuat paradigma pembangunan Indonesia berbasis sumberdaya kelautan. Pembangunan kelautan yang selama ini terpinggirkan kembali terangkat dengan dibentuknya DKP sebagai bagian dari upaya reformasi politik dan ekonomi pasca Pemilu 1999. Momen ini merupakan momen pertama untuk mengangkat sektor ini menjadi sumber devisa baru dalam rangka pembangunan ekonomi nasional. Namun demikian, paradigma pembangunan kelautannya masih berorientasi pada target pertumbuhan, terlepas dari semua keberhasilan pembangunan kelautan yang telah dilaksanakan dan diraih selama ini. Paradigma ini pada satu sisi memang mampu mendongkrak sektor kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru, namun di sisi lain tidak sedikit paradigma ini menyebabkan bumerang bagi sektor ini. Atas dasar inilah maka momen pasca Pemilu 2004 inilah yang penulis anggap sebagai momen kedua untuk secara bersama memberikan wacana dan alternatif upaya merekonstruksi pembangunan kelautan yang berkelanjutan.
Keberhasilan pembangunan kelautan Indonesia sangat memerlukan empat prasyarat yang harus dilaksanakan secara integral dan simultan.

Pertama, pembangunan kelautan Indonesia memerlukan kebijakan makro yang efektif dan efisien dalam proses pembangunan kelautan terutama untuk menempatkan sektor ini sebagai prime mover pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, disain kebijakan ekonomi makro Indonesia seoptimal mungkin harus berpihak pada sektor kelautan dalam rangka memberikan keleluasaan ruang pertumbuhan dan pengembangan sektor secara efektif dan efisien terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas yang mau tidak mau harus dihadapi secara optimal. Salah satu kebijakan makro yang dapat diberikan, misalnya, dengan memberikan proteksi terhadap datangnya (impor) komoditas kelautan (misal, price protection, tax, dan sebagainya) dan menjaga supply produk lokal agar tetap kontinu.

Pemerintah selaku pembuat kebijakan diwajibkan memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap sektor kelautan sebagai wujud implementasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada SDA (sumber daya alam) dan lahan. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat Indonesia untuk menggarap dan memproduksi komoditas kelautan secara bebas dengan perhitungan tanpa takut mengalami kerugian. Kebebasan tersebut harus dibarengi dengan adanya pemberian property right yang efisien secara ekonomi. Efisien secara ekonomi akan terwujud jika property right yang dimiliki masyarakat menunjukkan sifat universal (universality), eksklusif (execlusive), dapat diperjualbelikan secara sah (transferable) dan memperoleh jaminan keamanan (enforceability).

Kedua, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya menjadi sangat krusial bagi pengembangan sektor kelautan. Pemerintah dalam hal ini diharapkan dapat menyediakan prasarana dan sarana jalan, telekomunikasi, energi dan sebagainya. Bahkan diharapkan pemerintah dapat membangun sistem prasarana jalan yang mampu menghubungkan pusat-pusat produksi kelautan dengan kapasitas jalan yang dapat dilalui kontainer-kontainer.

Ketiga, pembangunan kelautan juga memerlukan dukungan penelitian dan pengembangan teknologi kelautan. Pengembangan teknologi ini diarahkan untuk menghasilkan teknologi tepat guna terutama bagi upaya pengembangan komoditas yang bernilai jual tinggi (high value) dan mempunyai peluang untuk bersaing di pasar domestik maupun internasional.

Keempat, pembangunan kelautan Indonesia memerlukan pendekatan pengembangan yang dapat mengakomodasi secara integral dan efisien setiap aktivitas produksi, pasca panen, distribusi dan pemasaran, yaitu pendekatan sistem agribisnis berbasis sumberdaya kelautan. Sesuai dengan sifat dan karakteristik komoditas kelautan yang mempunyai tingkat rentanitas tinggi terhadap varibel waktu, maka pengembangan teknologi produksi, pasca panen, strategi pemasaran, sistem angkutan produk kelautan dan sebagainya menjadi bagian yang harus diperhatikan sebagai prasyarat pembangunan kelautan Indonesia.
Keempat prasyarat tersebut seyogianya diramu agar upaya pembangunan kelautan guna menghasilkan produk kelautan yang dapat bersaing di pasar domestik dan internasional dapat diimplementasikan. Jika Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis kelautan pasca Pemilu 2004, maka tidak menutup kemungkinan bahwa sektor kelautan Indonesia akan berjalan efisien dan kehidupan masyarakatnya akan terdongkrak menjadi lebih baik.

Kebijakan pemerintah untuk memfokuskan pembangunan ekonomi masyarakat pada kebijakan ekonomi berbasis kelautan akan membawa konsekuensi terhadap kemampuan berproduksi dan konsumsi masyarakat. Deskripsi implikasi kebijakan pemerintah tersebut tidak lain akan mengikuti solusi Don Kanel tentang bagaimana Double Squeeze berlaku pada penerapan kebijakan yang terfokus pada kebijakan pertanian. Teorama Don Kanel ini akan berlaku bilamana kebijakan dan syarat-syarat efisiensi ekonomi (property right yang jelas dan sistem pembangunan ekonomi yang berorientasi pada SDA, seperti dikemukakan sebelumnya terjadi. Sehingga, dapatlah diprediksi bahwa in the long run penerapan kebijakan ekonomi yang demikian itu akan membuat kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya yang bermata pencaharian di sektor kelautan dan perikanan akan meningkat.

Peningkatan penghidupan akibat adanya peningkatan produktivitas dan pendapatan ini akan mendorong dan memberikan dampak turunan bagi beberapa hal krusial dalam aktivitas ekonomi. Pertama, peningkatan pendapatan dan penghidupan ini akan mendongkrak tingkat daya beli masyarakat akan barang dan jasa (consumption) sedikit demi sedikit. Kedua, kemampuan daya beli ini juga akan dibarengi oleh kemampuan untuk menyimpan (saving) dan alokasi dana untuk re-investasi atau pengembangan usaha. Ketiga, pengembangan usaha yang dilakukan in the long run akan mendorong peningkatan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan yang kemudian akan kembali dialokasikan untuk konsumsi, saving, pengembangan usaha dan seterusnya.

Peningkatan daya beli masyarakat (consumption) di sisi lain secara signifikan akan mendorong peningkatan transaksi jual-beli barang dan jasa. Peningkatan transaksi ini secara teoritis akan meningkatkan investasi sektor riil, terutama yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini terjadi penggunaan kapital yang dihasilkan akibat adanya transaksi dan konsumsi masyarakat tanpa harus melalui sistem kredit atau pinjaman usaha dari lembaga keuangan. In the long run, peningkatan daya beli masyarakat akan meningkatkan tingkat investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Peningkatan perekonomian ini secara signifikan akan meningkatkan peran pemerintah untuk memberikan pelayanan publik, berupa pembangunan nasional (pengembangan fasilitas publik) dan sebagainya.

Sekali lagi, momen pasca Pemilu 2004 merupakan momen kedua yang seharusnya diupayakan untuk menjadikan sektor kelautan benar-benar menjadi sektor basis dalam pembangunan ekonomi nasional. Keberhasilan upaya pembangunan kelautan memerlukan empat prasyarat, yaitu (i) keberpihakan kebijakan makro, (ii) penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya, (iii) dukungan penelitian terpadu dan pengembangan teknologi kelautan, dan (iv) penerapan sistem agribisnis berbasis sektor kelautan. Semoga Pemilu 2004 dapat menjadi momentum perubahan pembangunan ekonomi nasional berbasis sektor kelautan


TUGAS POKOK & FUNGSI


Pada Tahun 2008 Dinas Kelautan dan Perikanan mengalami perubahan struktur Organisasi berdasarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) Provinsi Kalimantan Barat dan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat.
Sesuai dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 53 Tahun 2008 dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dijelaskan diatas, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi sebagai berikut:
Melaksanakan urusan Pemerintah Provinsi di bidang Kelautan dan Perikanan, melaksanakan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diserahkan oleh Gubernur dan perundang – undangan yang berlaku.
Perumusan kebijakan teknis di bidang kelautan, pesisir, pulau – pulau kecil dan pengawasan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Penyelenggaraan urusan Pemerintahan dan pelayanan umum di bidang kelautan, pesisir, pulau – pulau kecil dan pengawasan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan sesuai dengan peraturan perundang –undangan yang berlaku.
Pelaksanaan tugas di bidang kelautan, pesisir, pulau – pulau kecil dan pengawasan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan sesuai dengan peraturan perundangan – undangan yang berlaku.
Penyelenggaraan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan tugas di bidang kelautan, pesisir, pulau – pulau kecil dan pengawasan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang kelautan, pesisir, pulau – pulau kecil dan pengawasan, perikanan tangkap, perikanaan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Pelaksanaan Perizinan dan pelayanan umum di bidang kelautan dan perikanan.
Pengelolaan administrasi kepegawaian, keuangan dan asset di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan.
Pelakasanaan tugas dekonsentrasi, tugas pembantuan dan tugas lainnya di bidang kelautan dan perikanan yang diserahkan oleh Gubernur.


STRATEGI KEBIJAKAN


Sebagai bagian integral dari pembangunanan nasional dan daerah, dasar kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan selain bertumpu pada landasan idiil Pancasila dan Landasan Konstitusional UUD 45, juga pada landasan Operasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Tahun 2008 – 2013. Dari tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan bagaimana Tujuan dan Sasaran tersebut akan dicapai.

Adapun cara mencapai tujuan dan sasaran adalah dengan menentukan kebijakan.



I. Arah Kebijakan

Pembangunan Kelautan dan Perikanan diarahkan pada :
Koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Kabupaten.
Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup.
Mengoptimalkan alokasi anggaran bidang pembangunan kelautan dan perikanan guna mendorong pencapaian akselerasi pembangunaan daerah mengingat besarnya anggaran yang diperlukan dalam pembangunaan kelautan dan perikanan.
Memaksimalkan upaya penanggulangan dan pengendalian banjir serta pengamanan pantai dan pesisir.
Memaksimalkan pencapaian hasil realisasi program dalam agenda pengurangan ketimpangan wilayah, program pengembangan perbatasan, program pengembangan daerah terpencil, pesisir dan pulau – pulau kecil.
Pengembangan subsistem industri hilir yang terintegrasi dengan berbasis pada industri pengolahan hasil perikanan.
Penumbuhan klaster industri perikanan, baik pada industri besar dan sedang maupun pada industri kecil dan menengah.
Memperkuat basis industri yang menghasilkan produk hasil perikanan berdaya saing tinggi dan berorientasi ekspor.
Perluasan jaringan distribusi dan penyebaran informasi perdagangan / bisnis serta peningkatan perlindungan konsumen.
Peningkatan sarana dan prasarana perikanan, termasuk di kawasan perbatasan, pesisir dan pulau – pulau kecil.
Memfasilitasi pelaku usaha perikanan dalam memasarkan produk hasil daerah.
Memperkuat kegiatan promosi dan misi dagang untuk meningkatkan ekspor daerah dari hasil perikanan.
Meningkatkan daya saing KUKM yang diarahkan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhaan ekonomi lapangan kerja.
Memperkuat KUKM.



II. Strategi Kebijakan

Kebijakan adalah merupakan ketentuan yang telah disepakati pihak terkait yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang untuk dijadikan pedoman, pegangan petunjuk bagi setiap kegiatan aparatur Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat dan masyarakat agar tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam upaya mencapai sasaran, tujuan, misi dan visi.

Kebijakan (Strategi Kebijakan) yang ditetapkan pada Tahun 2008 – 2013 meliputi:
Peningkatan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat Pesisir melalui Penguatan modal / bantuan sarana ekonomi produktif dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).
Peningkatan pengawasan dan pengendalian guna menjamin pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara tertib bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Peningkatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan pada wilayah perairan potensial dan rasionalisasi upaya tangkap pada perairan padat tangkap, serta pembinaan mutu hasil perikanan menuju terwujudnya pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab sesuai FAO.
Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola sumberdaya kdan perikanan, serta pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan melalui pengembangan usaha, investasi dan pemasaran hasil laut dan perikanan.
Peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah di lingkungan dinas kelautan dan perikanan dalam rangka mewujudkan aparatur yang produktif, profesional, bersih dan bertanggungjawab.
Pengembangan perikanan budidaya melalui pengelolaan kawasan berbasis budidaya.
Peningkatan nilai tambah hasil perikanan dan pengembangan produk hasil perikanan.
Pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau – pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Pengelolaan sumberdaya kelalutan dan perikanan melalui pendekatan berkelanjutan yang menyangkut aspek dimensi ekonomi, sosial dan ekologi. Pendekatan kebijakan tersebut dilakukan dengan prinsip pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara ekonomi layak / menguntungkan, secara ekologi tidak menyebabkaan kerusakan lingkungan (degradasi sumberdaya) dan secara sosial berkeadilan.
Pengembagan ekonomi masyarakat melalui pendekatan:
Pengembangan sistem perekonomian yang berbasis potensi perikanan.
Meningkatkan produktivitas sumberdaya kelautan dan perikanan secara profesional, efisien dan efektif dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembanan dan penanaman investasi dan dunia usaha.
Mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk mendorong investasi dan mengembangkan dunia usaha di bidang perikanan.

11. Pembangunan infrastruktur dasar dilakukan dengan fokus:
Pada daerah – daerah sentra produksi perikanan dalam upaya untuk memudahkan aksesibilitas masyarakat terhadap akses pasar.
Membangun infrastruktur yang fokus untuk mendukung sistem investasi dan aksesibilitas masyarakat terhadap program pembangunan daerah.
Membangun infrastruktur kepariwisataan pada wilayah destinasi dan objek – objek wisata.

12. Pembangunan wilayah perbatasan dilakukan melalui:
Pendekatan kesejahteraan, dengan fokus meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan serta meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi daerah.
Pendekatan Lingkungan, dengan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologis dalam rangka keberlanjutan pembangunan.
TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN INDONESIA
Artikel oleh Akhmad Fauzi

Hajatan besar mengenai kelautan telah sukses di gelar di Manado pertengahan Mei. Meski WOC menitikberatkan pada peran laut dalam perubahan iklim, bagi Indonesia, sejatinya hasil WOC lebih dari sekadar masalah perubahan iklim dan konservasi. Ada tantangan besar yang harus dihadapi bangsa ini di sektor kelautan.

Laut telah menjadi bagian penting dalam ekonomi dunia. Lebih dari 80 persen perdagangan dunia dilakukan melalui laut dengan nilai lebih dari 500 miliar dollar AS pada tahun 2006 dan diprediksi meningkat sampai 670 miliar dollar AS pada tahun 2011 (UNCTAD, 2008). Sumbangan negara berkembang sendiri dalam perdagangan ini lebih dari 60 persen dan sebagian besar adalah sumbangan dari negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan perdagangan melalui laut ini diperkirakan akan meningkat dari 3,1 persen per tahun saat ini menjadi 44 persen tahun 2020. Indonesia sendiri saat ini menjadi yang terdepan dalam hal perdagangan batu bara melalui laut.

Peran laut
Peran laut yang begitu besar dalam pembangunan ekonomi tersebut kini dihadapkan pada tantangan isu-isu global, seperti keamanan, pencemaran, dan perubahan iklim. Transportasi laut, misalnya, selain menyebabkan pencemaran laut, ternyata juga berkontribusi terhadap pencemaran udara. IMO memperkirakan bahwa konsumsi BBM industri transportasi laut saja pada tahun 2007 sudah mencapai 369 juta ton. Konsumsi ini menghasilkan emisi CO dari kapal-kapal sebesar 1.120 juta ton dan diprediksi meningkat menjadi 1.475 juta ton pada tahun 2020 di mana konsumsi BBM akan meningkat 30 persen. Dengan demikian, sejatinya bukan saja peran laut sebagai carbon sink yang semestinya menjadi pertimbangan, tetapi juga bagaimana industri ini dikembangkan secara ramah lingkungan.

Lalu, apa yang semestinya kita lakukan?
Pertama, Indonesia seharusnya segera merancang Ocean Resource Management Plan (Ormap). Ormap ini penting untuk memetakan seluruh potensi ekonomi sumber daya laut Indonesia menyangkut resource assessment, resource estimation, dan resource evaluation. Selain itu, Ormap juga mencakup resource inventory terhadap sumber daya laut, seperti energi, pangan, jasa lingkungan, transportasi, pariwisata, dan jasa pendukung lainnya. Sampai saat ini, kita belum memiliki Ormap yang komprehensif tersebut. Ormap diperlukan bukan saja untuk menunjukkan di mana posisi kita saat ini dalam memanfaatkan sumber daya kelautan, tetapi juga akan memberikan jalan ke mana pembangunan tersebut diarahkan.

Kedua terobosan baru diperlukan untuk mengadopsi masalah lingkungan. Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah mengembangkan ekonomi kelautan melalui strategi Green Ocean, yakni mengembangkan potensi ekonomi kelautan dengan mempertimbangkan berbagai aspek lingkungan. Republik Korea, misalnya, tengah mengembangkan strategi ini yang bukan saja dapat meningkatkan GDP, tetapi juga turut memelihara keberlanjutan ekosistem dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari industri maritim. Strategi Green Ocean telah mengubah paradigma pembangunan ekonomi kelautan dari sekadar konsern konservasi menjadi peluang ekonomi yang menjanjikan. Jung Bong-min dari Lembaga Maritim Korea mengatakan bahwa industri kelautan dan maritim memiliki karakteristik untuk memperbaiki efisiensi, keberlanjutan, keterkaitan yang luas dengan industri lainnya , serta mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Green Ocean strategi adalah jawaban yang tepat untuk memenuhi harapan tersebut.

Ketiga pengembangan ekonomi yang berhasil akan sangat tergantung dari aspek institusi dan aspek legal yang mendukungnya. Dengan demikian, kita perlu mencermati kembali dan melakukan pemetaan terhadap perundang-undangan yang bersinggungan dengan sektor kelautan, seperti undang-undang perikanan, pesisir, tata ruang, minyak dan gas bumi, pariwisata, lingkungan hidup, dan berbagai perundangan lainnya yang berpotensi menimbulkan disharmoni dalam pelaksanaannya. Disharmoni akan menyebabkan ruang gerak yang terbatas dalam pengembangan sektor kelautan

Akhirnya, satu hal yang tak bisa dilepaskan adalah menyangkut komitmen dan political will dari penentu kebijakan. Kedua faktor ini penting untuk menjaga konsistensi arah pembangunan kelautan Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, para pengambil kebijakan di negeri ini sering tidak konsisten dalam menjalankan program yang telah dicanangkan sebelumnya. Hasil pemilu legislatif kali ini mestinya dapat dijadikan momentum yang tepat untuk menghasilkan political will yang kuat terhadap pembangunan ekonomi kelautan Indonesia.

Ironi Negeri Bahari

Oleh : Rum Ahmad Yusuf

Sejak Ir H Djuanda mendeklarasikan deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, sejak itulah Djuanda menekankan peran penting Indonesia sebagai kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia, baik secara ekonomis maupun politis dan berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.

Dengan Deklarasi Djuanda, Indonesia mempunyai wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Terbesar kedua di dunia, memiliki garis pantai 81.000 kilometer terpanjang di dunia, serta memiliki pulau 17.508 buah dengan segala kandungan kekayaannya yang sangat besar.

Posisi sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia inilah menempatkan Indonesia sebagai pemilik keanekaragaman hayati yang terbesar di dunia, ditambah letak geografisnya yang sangat strategis di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Oleh karena itu potensi kekayaan kelautan Indonesia cukup besar.

Pemerintah diharapkan mampu membangun sektor kelautan karena dengan membangun sektor ini berarti membangun masa depan Indonesia yang mandiri, sejahtera, maju dan disegani. Membangun laut adalah keniscayaan karena 60 persen penduduk atau sebanyak 140 juta orang Indonesia bermukim di wilayah pesisir. Bahkan, 22 persen di antara mereka tinggal di desa pesisir dan pulau-pulau kecil. Membangun ekonomi kelautan harus menjadi arus utama di setiap kebijakan pembangunan oleh siapa pun. Dan laut jangan lagi diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector).

Sudah seharusnyalah ekonomi kelautan menjadi tumpuan utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun, deklarasi tersebut hanyalah sebuah cerita dari masa lalu karena berbagai dimensi permasalahan mengenai kelautan kerap sekali terjadi dan ini membuat potensi kekayaan laut semakin tenggelam dibawa arus modernisasi alias berorientasi ke darat. Permasalahan yang sering muncul adalah mulai dari garis batas yang dapat mengancam kedaulatan, pencurian ikan dan pasir laut serta biota laut lainnya, sampai ke peraturan yang masih kurang tegas serta hilangnya pulau-pulau.

Bermodalkan pantai sepanjang 81.000 kilometer dengan didukung 17.508 pulau, potensi ekonomi kelautan dan perikanan begitu luar bisa jumlahnya. Berapa banyak jumlah potensi ikan yang ditangkap sepanjang per tahunnya, belum lagi sektor bioteknologi, sektor minyak bumi lepas pantai, dari sektor wisata bahari, serta sektor transportasi laut.

Potensi Laut

Menurut Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) ketika masih bernama Dewan Maritim Indonesia (DMI), melalui majalah internal Maritim Indonesia edisi Juli 2007 menyebutkan, laut Indonesia menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieksploitasi senilai 156.578.651.400 dolar AS per tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.300 per 1 dolar AS, angka itu setara dengan Rp 1.456 triliun. Jika dianalogikan secara sederhana, jumlah potensi laut yang Rp 1.456 triliun lebih itu hampir dua kali lipat APBN tahunan Indonesia. Hal itu berarti, dengan mengeksploitasi potensi laut saja Indonesia sanggup menjalankan roda pemerintahan dengan kemampuan anggaran yang dua kali lipat kekuatannya. Bahkan, kata mantan menteri kelautan dan Perikanan Rokhiman Dahuri, potensi hasil laut Indonesia sebesar 82 miliar dolar AS dapat digunakan untuk melunasi utang luar negeri Indonesia secara bertahap. Land Based Orinted not Archipelagic Based Orinted. Tak lain, akar masalah dari semua masalah kelautan ini adalah karena kurangnya dukungan dari pemerintah. Pemerintah lupa akan kekayaan di sektor kelautan. Dan diperparah lagi penerapan paradigama pembangunan pemerintah yang selalu cendrung ke darat, land based oriented, bukan archipelagic based oriented (berorientasi kepulauan).

Padahal, kondisi obyektif Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan merupakan sebuah benua atau daratan yang luas, melainkan memiliki konfigurasi teritorial nasional berupa sebuah negara kepulauan. Dan hal ini juga telah dipertegas oleh Djuanda yang menyatakan sumber daya kelautan amat potensial dimanfaatkan sebagai sumber daya yang efektif dan modal dasar dalam pembangunan bangsa Indonesia dan mensejahterakan penduduknya.

Sayangnya, Indonesia belum mengelola dan mempergunakannya sebagai dasar pola pikir maupun pembangunan ekonomi. Padahal, jelas terdapat dalam Deklarasi Djuanda, kita sebagai bangsa sudah sepakat menyatakan diri sebagai negara kepulauan lautlah yang utama, pada kenyataannya laut masih diposisikan sebagai nomor dua atau pinggiran (periphery). Sehingga membuat potensi kelautan negara Indonesia acapkali "dicuri" negara asing. Maka tak heran pulau Ligitan dan Sipadan diambil orang. Secara geo-ekonomi Deklarasi Djuanda potensi kekayaan kelautan sangat strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia.

Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pembangunan (ekonomi) kelautan yang sangat besar dan beragam. Sedikitnya menurut mantan menteri kelautan dan perikanan terdapat sembilan sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan guna memajukan dan memakmurkan Indonesia, yaitu (1) perikanan, tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri bioteknologi, (4) pertambangan dan energi, (5), pariwisata bahari, (6) transportasi laut, (7) industri dan jasa maritim, (8) pulau-pulau kecil, dan (9) sumber daya non konvesional.

Namun, dilihat dari sektor ekonomi kelautan diatas, yang paling menonjol adalah sektor hasil tangkapan ikan. Hasilnya sekitar 6,4 juta ton per tahun. Namun, sangat disayangkan jumlah hasil tangkapan itu tidak sebanding dengan kehidupan para nelayan. Kehidupan nelayan sering kali "gali lobang tutup lubang" ini karena tidak adanya dukungan dari pemerintah. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah pada pengembangan potensi bahari sangat minim, dan juga tidak adanya regulasi atau perlindungan terhadap harga. Kehidupan nelayan banyak bergantung dari para "juragan/rentenir". Sehingga jeritan hutang pun menghiasi kehidupan para nelayan sampai seumur hidup. Maka tak heran kalau jalan-jalan ke daerah pesisir, banyak di jumpai nelayan yang hidupnya di bawah tarif kemiskinan dan keadaan di sekitar lingkungan rumah mereka terkesan kumuh.

Simbol Kedaulatan Bangsa

Laut bukan saja dilihat sebagai faktor integritas bangsa tetapi juga sebagai simbol kedaulatan bangsa, oleh karena itu harus didayagunakan sebagai sumber penghidupan bagi kesejahteraan dan kemakmuraan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Karena sejak dulu Indonesia dikenal sebagai negeri bahari. Kebesaran negeri ini bahkan sudah melegenda sejak masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pelaut Indonesia merajai kawasan maritim Nusantara. Bahkan mampu mengarungi samudra luas sampai ke negeri Campa dan Madagaskar. Namun kebesaran negeri kepulauan ini belum memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang menjangkau seluruh warganya bahkan acapkali terpinggirkan. Ketidak seriusan dan ketidak mampuan mengelola sumber daya yang tersedia secara baik agaknya menjadi salah satu penyebabnya. Ini sangat ironis mengingat hampir 70 persen wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar. Dan inilah ironi sebuah negeri bahari. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar